Page 15 - BUKU UKPFI
P. 15

saat  terjatuh.  Ia  pun  mengalami  gegar  otak  dan  harus  menjalani  perawatan  intensif di
                  Rumah Sakit St. Carolus Jakarta selama dua minggu. Dalam peristiwa yang sama, itu tidak

                  hanya Saptono yang mengalami tindakan represif, karena kekerasan lain juga diterima oleh
                  pewarta foto Reuters Beawiharta, pewarta foto Kompas Eddy Hasby dan pewarta foto Gatra

                  Tatan.
                         Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI) Jenderal TNI

                  Wiranto  setelah  kejadian  itu  memberikan  pernyataan  terbuka  menyesalkan  insiden  yang
                  terjadi,  dan  meminta  maaf  secara  khusus  saat  membesuk  Saptono  di  RS  St.  Carolus.

                  Bahkan, pucuk pimpinan militer tersebut menugasi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen)

                  ABRI mengganti sarana kerja Saptono yang rusak akibat insiden yang terjadi.
                         Namun,  pewarta  foto  di  Indonesia  setelah  kejadian  tersebut  merasa  khawatir
                  terhadap  perlindungan  kenyamanan  sekaligus  keselamatan  kerja  mereka  di  lapangan,

                  utamanya  dalam  peliputan  konflik.  Hal  itulah  yang  melandasi  didirikannya  Pewarta  Foto

                  Indonesia (PFI) pada 18 Desember 1998 di Jakarta. PFI awalnya sebagai paguyuban yang
                  bertujuan mengajukan tuntutan kepada pemerintah untuk melindungi profesi pewarta foto.

                         Seiring  berjalannya  waktu  Paguyuban  Pewarta  Foto  Indonesia  berubah  bentuk
                  menjadi organisasi profesi bernama Pewarta Foto Indonesia (PFI). Menurut salah seorang

                  pendiri  PFI,  Oscar  Motuloh,  kata  pewarta  dipilih  untuk  menggantikan  kata  wartawan,
                  karena     saat  itu  kata  wartawan  yang  lebih  banyak  dikonotasikan  sebagai  wartawan  tulis.

                  Selain  itu,  kata  pewarta  mereka  anggap  lebih  menggambarkan  independensi  atau
                  kemandirian.

                         Selain untuk membangun sistem perlindungan profesi pewarta foto yang kuat, PFI
                  juga  bertujuan  untuk  memajukan  profesi  pewarta  foto.  Pewarta  foto  kala  itu  sering

                  dianggap  sebagai  warga  kelas  dua  (second  class  citizen)  dalam  dunia  jurnalistik,  sehingga
                  struktur manajemen mereka berada di bawah meja sunting (desk) wartawan tulis dan tidak

                  memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) untuk menentukan foto mana yang  layak
                  ditampilkan. Foto lebih diangap sebagai pelengkap berita tulis. Anggapan tersebut akhirnya

                  mulai  bergeser,  dan  pewarta  foto  di  sejumlah  perusahaan  pers,  khususnya  manajemen

                  keredaksian,  mulai  mendapat  tempat  lebih  mandiri  seiring  dengan  berkembangnya  dunia
                  jurnalistik  dan  mulai  munculnya  tuntutan  akan  foto-foto  jurnalistik  yang  bermutu  guna

                  menunjang pemberitaan.
                         PFI  mulai  mendorong  sejumlah  perusahaan  pers  atau  media  massa  untuk

                  membentuk sistem keredaksian foto. Hal tersebut mulai dilakukan oleh  LKBN ANTARA,






                                                            14
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20